Kamis, 03 November 2011

Makna Kurban

Menurut para ahli hukum Islam, hukum ibadah kurban adalah sunnah muakkadah. Artinya amat dianjurkan bagi orang Muslim yang mampu. Mampu di sini, tidak identik dengan kaya. Menurut madzhab Syafi'i, bila seorang masih mempunyai sejumlah uang di luar kebutuhan dan biaya hidupnya pada hari raya dan tiga hari berikutnya (Ayam al-Tsyriq), maka telah berlaku baginya anjuran berkurban. (Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah, 1/716). Ibadah ini mulai diperintahkan oleh Allah swt pada tahun kedua Hijrah, bersamaan dengan perintah salat hari raya, zakat mal, dan zakat fitrah.

Rasulullah saw sendiri, seperti disebut dalam banyak hadis, melaksanakan ibadah kurban dengan menyembelih dua ekor kambing. (H.R. Bukhari). Beliau menyembelih sendiri kurbannya itu dengan membaca Basmalah dan Takbir, sambil berkata, ''Hadza 'Anni wa 'Amman Lam Yudhahhi min Ummati (Kurban ini dari-ku (Muhammad saw) dan dari orang yang tak mampu berkurban dari ummat-ku). (H.R. Abu Daud).

Ibadah kurban, seperti halnya ibadah haji, bersifat simbolik. Di dalamnya, terkandung beberapa makna spiritual yang amat dalam.

Pertama, ia merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah swt. Sebagai ungkapan syukur, maka bacaan takbir ketika menyembelih hewan kurban itu, tulis pakar tafsir Abdullah Yusuf Ali, justru lebih penting dari pada penyembelihan kurban itu sendiri. (The Holy Qur'an: Translation and Commentary, No.2810).

Kedua, kurban adalah ungkapan cinta kasih dan simpatik kepada kaum lemah. Dikatakan demikian, karena ibadah kurban tak sama dengan upacara persembahan dalam agama-agama lain. Hewan kurban tidak dibuang di altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di air sungai. Daging kurban itu justru untuk dinikmati oleh pelaku ibadah kurban itu sendiri dan orang-orang miskin di sekitarnya. Allah berpesan, ''Lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah (dengan bagian yang lainnya) orang fakir yang sengsara.'' (QS. Al-Haj: 28).

Ketiga, kurban adalah simbol dari kesediaan kita untuk melawan dan mengenyahkan segala sesuatu yang akan menjauhkan diri kita dari jalan Allah swt. Sesuatu itu, bisa berupa harta dan kekayaan kita, kedudukan dan pekerjaan kita, atau apa saja yang membuat kita tak sanggup berkata benar.

Karena itu, kurban dapat pula disebut sebagai simbol dari kemenangan kita melawan hawa nafsu kita sendiri. Dari sini kita dapat memahami bahwa ibadah kurban pada hakikatnya adalah komitmen kita untuk senantiasa menuhankan Allah, bukan menuhankan hawa nafsu kita sendiri, serta kesediaan kita untuk berbagai rasa dengan sesama manusia, terutama kaum lemah. Komitmen inilah yang akan membawa kita meraih perkenan dari ridha Allah, bukan darah dan daging kurban itu sendiri. Allah berfirman. ''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya. (QS. Al-Haj: 37).

Selasa, 04 Oktober 2011

Fatwa Qardhawi: Hukum Menonton Televisi

Televisi sama halnya seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu hanyalah alat atau media yang digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan sehingga kita tidak dapat mengatakannya baik atau buruk, halal atau haram. Segalanya tergantung pada tujuan dan materi acaranya.

Seperti halnya pedang, di tangan mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan bila di tangan perampok, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan tindak kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut penggunaannya, dan sarana atau media dinilai sesuai tujuan dan maksudnya.

Televisi dapat saja menjadi media pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan. Demikian pula halnya radio, surat kabar, dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, televisi dapat juga menjadi alat penghancur dan perusak. Semua itu kembali kepada materi acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.

Dapat saya katakan bahwa media-media ini mengandung kemungkinan baik, buruk, halal, dan haram. Seperti saya katakan sejak semula bahwa seorang Muslim hendaknya dapat mengendalikan diri terhadap media-media seperti ini, sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika acaranya berisi kebaikan, dan mematikannya bila berisi keburukan.

Lewat media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita dan acara-acara keagamaan, pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang dapat diterima (tidak mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari suguhan hiburan yang menyenangkan hatinya atau dapat memperoleh manfaat dari tayangan acara pendidikan yang mereka saksikan.

Namun begitu, ada acara-acara tertentu yang tidak boleh ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya merusak akhlak. Karena di dalamnya mengandung unsur-unsur budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk.

Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat rayuan dengan kata-kata yang manis. Selain itu, jenis film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah bohong, dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral yang rendah.

Secara objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak luput dari sisi negatif seperti ini, tidak sunyi dari adegan-adegan yang merangsang nafsu seks, minum khamar, dan tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah menjadi  kebudayaan dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri peradaban yang tinggi. Wanita yang tidak belajar berdansa adalah wanita yang tidak modern. Apakah haram jika seorang pemuda duduk berdua dengan seorang gadis sekedar  untuk bercakap-cakap serta saling bertukar janji?"

Inilah yang menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian terhadap akhlak anak-anaknya melarang memasukkan media-media seperti televisi dan sebagainya ke rumahnya. Sebab mereka berprinsip, keburukan yang ditimbulkannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya, dosanya lebih besar daripada manfaatnya, dan sudah tentu yang demikian adalah haram. Lebih-lebih media tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.

Tidak diragukan lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi dengan hati-hati, ketika keburukan dan kerusakan sudah demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata, dan tidak terhitung jumlah manusia yang tidak lagi dapat menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi positif dan manfaatnya juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, yaitu berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang buruk di antara film bentuk tayangan sejenisnya.

Hal ini dapat dihindari oleh seseorang dengan jalan mematikan radio atau televisinya, menutup surat kabar dan majalah yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang, dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita  dan tulisan yang buruk.

Manusia adalah mufti bagi dirinya sendiri, dan dia dapat menutup pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat mengendalikan dirinya atau keluarganya, maka langkah yang lebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).

Inilah pendapat saya mengenai hal ini, dan Allahlah Yang Maha Memberi Petunjuk dan Memberi Taufiq ke jalan yang lurus.

Kini tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab produser serta seluruh pihak  yang  berkaitan dengan media-media informasi tersebut. Karena bagaimanapun, Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka terhadap semua itu. Maka  hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak sekarang.
Sumber: http://www.republika.co.id/

Fatwa Qardhawi: Zakat Untuk Membangun Masjid

, Adapun menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid sehingga dapat digunakan untuk mengagungkan nama Allah, berdzikir kepada-Nya, menegakkan syiar-syiar-Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat, maka hal ini termasuk yang diperselisihkan para ulama dahulu maupun sekarang.

Apakah yang demikian itu dapat dianggap sebagai "fi sabilillah" sehingga termasuk salah satu dari delapan sasaran zakat sebagaimana yang dinashkan di dalam Al-quranul Karim dalam surat At-Taubah:

"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
(QS At-Taubah: 60)

Ataukah kata "sabilillah itu artinya terbatas pada "jihad" saja sebagaimana yang dipahami oleh jumhur? Saya telah menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam kitab saya Fiqh Az-Zakah, dan di sini tidaklah saya uraikan lagi masalah tersebut.

Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama, dengan memperluas pengertian "jihad" (perjuangan) yang meliputi perjuangan bersenjata (inilah yang lebih cepat ditangkap oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran), jihad tarbawi (pendidikan), jihad da'wi (dakwah), jihad dini (perjuangan agama), dan lain-lainnya.  Kesemuanya untuk memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi kepribadian Islam dari serangan musuh yang hendak mencabut Islam dari akar-akarnya, baik serangan itu berasal dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau dari Free Masonry dan zionisme, maupun dari antek dan agen-agen mereka yang berupa gerakan-gerakan sempalan Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan Bathiniyah (Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.

Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan oleh umat, seperti negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya zakat di sana digunakan untuk membangun masjid. Sebab negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan zakat untuk hal ini, selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang dananya baik dari uang zakat maupun selain zakat.

Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya cukup digunakan untuk membangun sepuluh atau lebih masjid di negara-negara Muslim yang miskin yang padat penduduknya, sehingga satu masjid saja dapat menampung puluhan ribu orang. 

Dari sini saya merasa mantap memperbolehkan menggunakan zakat untuk membangun masjid di negara-negara miskin yang sedang menghadapi serangan kristenisasi, komunisme, zionisme, Qadianiyah, Bathiniyah, dan lain-lainnya. Bahkan kadang-kadang mendistribusikan zakat untuk keperluan ini—dalam kondisi seperti ini—lebih utama daripada didistribusikan untuk yang lain.

Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam: Pertama, mereka adalah kaum yang fakir, yang harus dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai manusia sehingga dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia Muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi bagi jamaah muslimah.

Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di negara tersebut untuk mendirikan masjid dengan menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan dengannya sehingga tidak ada kaum Muslim yang hidup tanpa mempunyai masjid.

Sebagaimana setiap orang Muslim membutuhkan makan dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya, maka jamaah muslimah juga membutuhkan masjid untuk menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman mereka.

Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi SAW setelah hijrah ke  Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi yang mulia yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman itu.

Kedua, masjid di negara-negara yang sedang menghadapi bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada di bawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah semata-mata tempat ibadah, melainkan juga sekaligus sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.

Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan masjid dalam membangkitkan harakah umat Islam di Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut bahasa berarti mengguncang/menggoyang) yang pada awal kehadirannya dikenal dengan sebutan "Intifadhah Al-Masajid". Kemudian oleh media informasi diubah menjadi "Intifadhah Al-Hijarah" batu-batu karena takut dihubungkan dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.

Kesimpulan: menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam kondisi seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi menjunjung tinggi kalimat-Nya serta membela agama dan umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi sabilillah (di jalan Allah).
 Sumber: http://www.republika.co.id/

Senin, 03 Oktober 2011

Jangan Tertipu

Saat ini, kebohongan seakan telah menjadi tradisi. Korupsi jadi budaya. Tetapi, bagaimanapun kita tidak boleh teperdaya. Alquran telah mewanti-wanti kita untuk istiqamah dalam iman. Kelak akan ada sebuah dialog menarik di dalam neraka yang patut kita renungkan. Peserta dialog terdiri atas penghuni neraka, setan, para pemimpin yang sombong (ketika di dunia memimpin dengan hawa nafsunya), serta para pengikut setianya.

"Dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong, "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab, "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri."

"Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih." (QS 14: 21,22).

Ayat di atas (21), mendeskripsikan secara gamblang bahwa masyarakat atau kaum yang membantu pemimpinnya untuk sombong secara terus-menerus berbuat kerusakan dengan menuruti hawa nafsunya, maka kelak pemimpin dan yang dipimpin akan sama-sama masuk neraka.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam memilih pemimpin. Salah memilih pemimpin, kita akan rugi di dunia dan sengsara di akhirat. Begitu pula tatkala memegang amanah sebagai pemimpin, harus lebih hati-hati lagi. Sebab, seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dipimpinnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Ayat berikutnya (22) menjelaskan perihal pengakuan setan di hadapan Allah setelah selesainya urusan hisab di Padang Mahsyar. Setan mengatakan bahwa dia hanya bisa menggoda manusia. Siapa yang tergoda maka dia akan tersesat dari kebenaran, sehingga mereka memandang kejahatan sebagai perbuatan yang baik dan terpuji. Maka, tidaklah heran jika Allah memerintahkan kita untuk berpikir, mengambil pelajaran, dan terus-menerus mengingat kebesaran-Nya, agar tidak terjerumus dalam kesesatan.

Terhadap kondisi seperti itu, jangankan Tuhan, setan pun mengolok manusia untuk mencerca dirinya sendiri. Maka dari itu, waspadalah jangan sampai tertipu dan mencerca diri sendiri karena kebodohan kita mematuhi seruan setan dan mengabaikan aturan Tuhan. "Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah." (QS 35: 5).
Oleh: Dr. Abdul Mannan

Senin, 05 September 2011

Rahasia Memaafkan

Kecenderungan orang, secara naluriah, jika mendapatkan sesuatu yang buruk dari orang lain adalah bereaksi negatif. Dalam hatinya akan muncul perasaan dendam. Kemungkinannya: ia akan membalasnya dengan perlakuan yang sama, atau ia akan membalasnya dengan perlakuan yang lebih buruk dari yang ia terima.

Apakah membalas dengan perlakuan yang sama lantas perasaan dendam itu akan hilang? Tidak. Perasaan negatif itu akan terus muncul tanpa bisa dibendung, kecuali dengan memaafkan. Lalu, setelah membalas perlakuan buruk dengan yang lebih buruk, apakah perasaan dendam itu hilang, karena puas dengan balasan yang lebih? Sekali lagi tidak. Perasaan dendam tidak akan hilang, walau perlakuan buruk telah dibalas dengan yang lebih buruk.

Sangat mungkin orang yang dibalas dengan yang lebih buruk, akan membalasnya kembali dengan yang lebih buruk lagi. Akhirnya, puncaknya adalah salah seorang dari keduanya mati terbunuh. Lalu, keluarga korban membalasnya dengan membunuh pula. Lebih jauh dan sangat mungkin akan terjadi perang: perang antarkeluarga, menyebar menjadi perang antarkelompok, dan seterusnya. Sekarang bayangkan, apa jadinya jika semua orang di negeri ini pendendam? Tentu tidak akan ada kehidupan damai.

Nah, apa langkah yang tepat ketika mendapat perlakuan buruk dari orang lain? Yaitu, dengan memaafkan. Ada rahasia yang tidak kasat mata dalam memaafkan. Jika kita memaafkan orang yang melakukan hal buruk, ada kemungkinan ia pun akan meminta maaf kepada kita. Jika pun tidak, orang yang memaafkan akan terhindar dari perasaan dendam yang akan terus menyiksa batinnya. Langkah selanjutnya adalah bersabar atas apa yang menimpa kita. Dan, kebahagiaan akan muncul mewarnai jiwanya. Sebab, memaafkan dan sabar hanya lahir dari hati yang bahagia.

Allah telah memberikan bimbingan kepada Rasulullah SAW dan umatnya melalui firman-Nya. "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar." (QS an-Nahl [16]: 126).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah SAW melihat jenazah Hamzah yang gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud dengan keadaan tubuhnya yang mengenaskan. Seketika itu, Rasulullah berucap, "Sungguh aku akan membalas dendam kepada orang-orang kafir. Aku benar-benar akan membantai tujuh puluh orang di antara mereka." Dan, turunlah ayat ini. Allah memberikan nasihat kepada Rasulullah agar bersabar. Karena itulah yang terbaik. Dan, akhirnya Rasulullah mengurungkan niatnya untuk membalas dendam. Maka, memaafkan dan sabar adalah alasan yang paling tepat bagi siapa saja yang menginginkan kebahagiaan.
Masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri 1432.H ini, mari kita membuka diri, untuk saling maaf-memaafkan diantara kita, dengan setulus-tulusnya permintaan dan pemberian maaf. Dan mari kita buka lembaran baru kehidupan kita di bulan Syawal ini, dengan tetap senantiasa menjaga kefitrahan dan ketaqwaan yang telah kita raih melalui amalan ramadhan beberapa waktu yang lalu.( Dede Sulaeman)

Rabu, 24 Agustus 2011

MENJAGA MUTIARA FITROH: KHUTBAH IDUL FITRI 1432 H / 2011 M

Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah.
Fajar tanggal 1 Syawal telah menyingsing di ufuk timur, pada saat ini kita berada pada hari yang agung, pada hari ini pula Allah Azza Wa Jalla memperlihatkan kemulyaan dan keagungannya, dimana seluruh umat muslim di segenap penjuru dunia, bersedia untuk bangkit secara serentak menggemakan dan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Kita dan kaum muslimin di seluruh dunia beridul fitri dan saling mengucapkan. : Min al’Aidin Wal Faizin, yang bila diterjemahkan secara harfiah, ucapan itu berarti: semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beruntung. Sebuah ucapan yang mengandung doa yang diperuntukkan bagi orang-orang yang baru saja selesai melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Sebulan penuh kita telah menjalani shoum Romadhon beserta amaliyah-amaliyahnya, Insya Allah kita lakukan dengan penuh kesabaran, kesungguhan, keikhlasan, dan keimanan. Itu sebabnya hari ini kita berhak merayakan sebuah kemenangan, menjadi pribadi yang taqwa, dan menjadi pribadi yang fitrah. Dan rupanya mempertahankan kemenangan jauh lebih tidak mudah dibandingkan dengan mencapai kemenangan.
Banyak orang berpikir Idul Fitri adalah puncak kemenangan kaum musilimin. Tahukah kita, jika kita pun merasakan bahwa Idul Fitri adalah puncak, maka biasanya setelah puncak yang hadir adalah turunan. Itu sebabnya, betapa banyak kaum Muslimin yang Sudah berjuang 1 bulan di Bulan Ramadhan untuk meraih fitrah, justru kembali kepada fitnah. Selain turun kualitas amalnya, turun pula Kuantitas amal-amalnya.
Yang tadinya kita Sholat Malam Rutin, umumnya tak lagi Rajin. Yang Tadinya membaca Al-Quran penuh semangat, umumnya tak lagi antusias sebab dianggapnya sudah tamat. Yang tadinya kita Banyak sedekah dan berbagi, umunya tak lagi sudi kecuali hanya sedikit sekali. Itu sebabnya kemenangan sejati adalah hanya milik orang-orang yang bertaqwa, buka milik orang-orang yang tertawa ketika Ramadhan ditinggalkannya.

Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu mendapatkan kemenangan. (Q.S.An-Naba’: 31)

Judul khutbah Idul Fitri 1432 H / 2011 M kali ini adalah:

MENJAGA MUTIARA FITROH
Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah
Rahmat berarti kasih sayang, rahmat adalah pancaran dari rohman dan rohimnya Allah SWT, Rasulallah SAW bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya  Allah telah menciptakan 100 rahmat kasih sayang, ketika menciptakan langit dan bumi, satu rahmat dari pada-Nya seluas langit dan bumi, dengan itulah mahluk saling menyanggupi, dengan itu ibu mengasihi anaknya, dengan itu burung dan binatang buas menenguk air dari tempat yang sama dan dengan itu seluruh mahluk hidup.
            Pernahkan kita melihat induk ayam yang pengecut berubah menjadi pemberani karena dibawah sayapnya ia melindungi anak-anaknya yang masih kecil? Pernahkah kita menyaksikan harimau buas yang menjilati tengkuk anaknya dengan lembut? Pernahkan kita mendengar kisah kera betina yang menjepit pili ketika anaknya dirampas pemburu? Saudara-saudara sekalian ini adalah 1/100 (seperseratus) rahmat Allah yang fitrah dititipkan kepada mahluknya.
            Kita sering menyaksikan seorang suami yang berkerja keras diperantauan, menguras keringat dan tenaganya, ia biarkan tubuhnya terbakar oleh panasnya matahari, dikumpulkan uang serupiyah demi serupiyah setelah terkumpul dengan setia ia mengantarkan dan serahkan kepada istri dan anaknya? Kita sering menyaksikan  seorang ibu yang bermata cekung menungui anaknyayang sedang sakit disampingnya, dan siap menyerahkan apapun yang dimilikinya asalkan dia dapat melihat anaknya yang terkasih tersenyum kembali? Kita juga sering menyaksikan orang tua yang menghabiskan seluruh usianya, mengurangi makan dan minum dan mengurangi tidur dan istirahat supaya sanggup menyekolahkan  anak-anaknya, kemudian setelah si anak berhasil meraih gelar sarjana dan diwisuda di aula almamaternya, ayah dan ibu terisak-isak menangis dikursi belakang, sebuah tangisan  haru dan bahagia yang sanggup melupakan segala kepenatan bertahun-tahun mencari rizki. Saudara-saudara sekalian ini adalah 1/100 (seperseratus) rahmat Allah yang fitrah dititipkan kepada mahluknya. 
Hari ini kemenangan sejati itu bersifat fitrah. Fitrah itu kesejatian kita sebagai Abdullah dan Khalifah. Yakinlah, Setiap diri kita dihadirkan sebagai pemenang sejati. Walau tak selamanya kita memenangkan petualangan, tapi yakinlah bahwa selamanya kita adalah sang pemenang. Percayalah, melodi kemenangan masih terpelihara hingga kini. Tak masalah berapa kali kita pernah gagal, yang penting berapa kali engkau bangkit dari kegagalanmu itulah kemenangan.
Sekali lagi Khotib yakinkan, kitalah pemenang itu. Maka buanglah putus asa, dan sambunglah kasih sayang dan sinergi bersama saudara kita. Bersilaturahimlah. Jangan ceraikan apapun yang sudah baik bersatu, terlebih hanya lantaran ada satu dua yang tidak setuju. Lebih baik bersatu dengan sedikit dosa, dari pada sendiri dengan membawa bangga, lalu merasa paling suci. Percayalah, orang terbaik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat dosa, tapi orang terbaik adalah orang yang segera bersuci dan bertaubat ketika dosa tak sengaja itu mengurangi kualitas bening mutiara hatinya.
Tetapi kita sebagai manusia tidak selalu berhasil memelihara fitrah atau kemengan kasih sayang-Nya, dalam perjalanan hidup, kita sering melupakan bisikan fitrah yang suci ini. Bukankah kita sering mendengar seorang ibu membunuh atau mengubur hidup-hidup anaknya sendiri? Suami yang menganiaya istri? Istri yang menghianati suami? Pembesar yang mengekploitasi orang kecil? Orang kaya memeras orang miskin? Tawuran antar suku? Kemudian kita termenung, kemana gerangan seperseratus fitrah Allah pada diri manusia. Mengapa fitrah itu terlupakan? Maka khotib akan menyampaikan tips atau kunci menjaga mutiara fitrah yang diberikan Allah kepada kita.
Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah
Pertama adalah furqon.  Furqon artinya pembeda. Membedakan mana mutiara dari hati dan mana mutiara dari hawa. Pemisah antara yang benar dan salah, hak dan batil, Cahaya dan Kegelapan, sukses dan gagal, pemenang dan pecundang, iman dan ingkar, Annur dan Annaar.
Ketahuilah, kecerdasan tertinggi kita adalah kecerdasan akan kemampuanmu dalam hal membedakan sesuatu. Seperti Nabi Ibrahim as, kecerdasannya bermuara kepada kemampuan kecerdasan spiritual, yakni membedakan mana Tuhan sesungguhnya dan mana Tuhan yang rekayasa. Untuk menjadi sang pembeda yang lihai, maka engkau tak cukup membuat perbedaan dalam tataran pikiran dan rasa saja. Untuk membedakan dengan cerdas dan tuntas, engkau pun harus mulai membuktikannya dengan langkah-langkah yang istiqomah.  Artinya, seringkali untuk menjadi cerdas dalam membedakan, engkau harus berani mencoba bertindak, bukan sekedar berani berpikir dan meyakini. Ingatlah, dua penyebab kegagalan sejati adalah : pertama, karena beriman tanpa bertindak, dan yang kedua, karena bertindak tanpa dilandasi keimanan. Keimanan adalah akarnya tindakan.
Tentu saja, Sejak kapan akar mengkudu berbuah durian? Sejak kapan keikhlasan berbuah keluhan? Sejak kapan cinta berbuah derita? Sejak kapan harapan berbuah putus asa? Sejak kapankah? Engkaulah yang memilihnya.


Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
) Q.S. At-Taubah  : 105(
Janganlah menjadi penakut dan hanya mau berada di tepi, di pinggiran, menjadi orang-orang yang meminggirkan diri. Sebab jika engkau menyendiri lantaran takut maka untuk apa kau gunakan ruh suci dari Tuhanmu itu?
Ingatlah bahwa Hidup ini adalah pilihan. Dan setiap Pilihan pasti mengandung Resiko yang tak bisa kita pilih. Kalau kita memilih Ikan paus maka resikonya bernama samudera, bukan selokan. Artinya, pelaut ulung tidak dilahirkan dari laut yang tenang. Layang-layang terbang tinggi karena berani melawan arah angin. Cita-cita besar akan dipaketkan dengan ujian dan resiko yang besar. Memilih itu memang tidak mudah, tetapi Tidak pernah Memilih jauh lebih menyulitkan lagi.

Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah

Kedua kita tanamkan Ikhlas


Dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. ) Q.S. Yunus : 105(.
kita dikatakan tidak ikhlas jika : kita beramal karena orang lain, atau jika kita tidak jadi beramal karena orang lain. Dan kita dikatakan tidak ikhlas jika mayoritas ucapan kita berisi keluhan dibandingkan kesyukuran.
Sudahkah kita ikhlas dengan kehidupan kita saat ini? Adakah yang membuat hidup kita tidak bisa berjalan dengan ikhlas? Masalah-masalah kah yang telah membuat kita mempermasalahkan keikhlasan kita? Bukankah masalah-masalah itu yang tetap membuat kita hingga kini bertahan dan berTuhan?
Kadang masalah hadir lewat hembusan angin, kadang lewat amukan air, kadang lewat luapan api, dan kadang lewat retaknya bumi. Tapi itu semua hakikatnya hanya ilusi, eksternal masalah kita, tapi internal ujian kita. Semuanya kembali pada diri kita, pada fitrah kita, dimana sang mutiara fajar bersemayam.
Walaupun semua orang mengatakan bahwa kita akan gagal, tapi jika kita yakin bisa berhasil maka, insya Allah kita pasti berhasil. Dan walaupun semua orang mengatakan bahwa kita akan berhasil tapi malah malah meragu, maka keraguan dan kegagalanlah yang akan kembali kepada kita. Sesuai dengan hadis qudsi:
Sesungguhnya Aku (Allah) tergantung kepada prasangka hambaku.
 
Artinya jika kita sudah berburuk sangka maka akan sesuai dengan prasangka kita, dan jika kita berprasangka baik maka hasilnyapun akan baik.
Tidak ada yang berat, jika tenaga kita cukup untuk mengangkatnya, bahkan menyelaraskannya. Sesendok garam bisa membuat air dalam gelas menjadi asin. Tapi tidak ada air yang asin, walau seratus sendok pun garam ditumpahkan, jika wadahnya selebar danau keikhlasan.

Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah
Ketiga untuk menjaga kefitrahan adalah Tawakkal. Tawakkal artinya menyerahkan segala permasalahan hidup kita hanya kepada Allah, dari jiwa kita yang terdalam. Allah lah tempat siapa pun berharap, menggantungkan harapan tertinggi dan semua. Paket dari Tawakkal adalah Azam, atau tekad kuat dan usaha yang mantap. Tawakkal tanpa ditemani tekad dan usaha adalah pasrah yang kebablasan. Ber-azam dulu, berencana dulu, berdo’a dulu, barulah engkau bertawakkal kepada Allah SWT seraya bersungguh-sungguh dalam berusaha.
Kemudian apabila kamu telah ber-azam (membulatkan tekad), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. ) Q.S. Ali-Imron: 159(
Apa yang sesungguhnya kita butuhkan dalam hidup ini? Sudahkah kebutuhan kita selaras dengan sinergi dakwah semesta. Apakah kebutuhan kita jika terpenuhi, sungguh tidak akan menjadikan diri kita lupa akan tugas utama kita. Sebagai Khalifah dan Abdullah.
Mulai hari ini, belajarlah untuk memberi lebih ikhlas dan tawakkal. Memberilah kepada manusia karena cinta kita kepada Allah, dan memintalah kepada Allah agar kita bisa memberi lebih banyak lagi. Salah satu ciri orang yang memiliki Tawakkal yang tinggi adalah hobinya untuk berbagi dan bersedekah.
Kaya itu Penting, Tapi Sedekah itu jauh lebih kaya dan abadi. Kaya di dunia dan kaya di akhirat. Jangan takut bersedekah karena miskin, dan jangan takut miskin karena bersedekah. Sedekah akan membuat engkau menjadi kaya, bahagia, dicintai Allah dan MakhlukNya. Itu sebabnya, Jangan pernah menunggu kaya baru engkau bersedekah, tapi bersedekahlah maka engkau menjadi kaya.
Begitupun, tak usah ragu diri kita me-ZAKATKAN harta kita untuk faqir, miskin dan asnaf lainnnya. Harta yang kita habiskan untuk kehidupan sehari-hari, hanya akan menjadi beban Hisab di akhirat, tapi ber-ZAKAT harta untuk faqir, miskin dan asnaf lainnnya, sehingga harta kita berkah, menyelamatkan diri kita didunia dan akhirat.

Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah
Yang keempat adalah tawadu’.
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina”. )Q.S. Al-A’raaf : 166(
Jadikan diri kita sebagai pemenang yang rendah hati. Tidak usahlah kita tambah, sudah cukup banyak para pemenang yang arogan, walau tidak sedikit juga para pecundang yang justru lebih arogan.
Hanya sedikit pencetak gol yang lantas refleks sujud syukur setelah wasit memastikan kesahihan golnya. Kebanyakan mereka merayakannya dengan berteriak, menari, bahkan memamerkan perutnya; dengan demikian, berhasil membuat lawan yang tertinggal angka, menjadi resah dendam terpatri. Ingat sekali lagi, Gol itu bukan tujuan utama, tapi hanya percepatan kita menuju ketaqwaan. Kalau lantaran Gol tercipta lalu bolong jala ketaqwaan kita, maka segeralah kembali kepada jalan yang fitrah. Firman Allah SWT yang artinya: Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah Dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa. (QS. Al-Israa : 83)

Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah

Yang terakhir adalah wala tai asu (jangan putus asa) tanamkan Harapan. Hari ini yakinlah bahwa kita pemilik fitrah sejati selalu mempunyai harapan dalam hidup. Manusia tanpa harapan tidak ada bedanya dengan jasad mati yang bergerak tanpa Arruh dan Arah. Itu sebabnya, kita harus memiliki banyak harapan, setidaknya satu, agar kau masih bisa bernafas.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Q.S. Yusuf  : 87)
Jangan pernah bunuh harapan yang masih bersemayam di jiwa kita. Walaupun kini, harapan kita sepertinya kecil dan belum terwujud nyata, tetaplah bersyukur pada Allah SWT, karena setidaknya kita telah memiliki harapan itu. Kalau lah harapan saja sudah tidak ada, maka apalah yang bisa diharapkan di dunia ini, apalagi di akhirat. Bersyukurlah dengan harapan yang ada, maka kita akan ditambah kenikmatan dari-Nya.
Masalah itu Lumrah. Masalah itu Hadiah. Maslah itu ujian dan cinta dariNya. Kalau kita lari dari masalah maka kita lari dari kasih sayang Allah. Masalah-lah yang membuat kita tetap bertahan dan berTuhan. Masalah itu memang tidak enak, tapi ia melahirkan rasa enak. Lapar adalah masalah, tapi tanpa lapar kita tidak pernah menikmati makan. Sebagaimana tanpa haus kita tak pernah optimal merasakan nikmatnya sebuah minuman. Semakin lapar semakin enak makannya, semakin haus semakin enak minumnya, semakin banyak masalah semakin besar harapan kita dekat dengan Tuhan, dekat dengan Sumber Solusi. Teruslahlah bergerak dan berharap. Selama kita tetap bergerak dan berharap pada Allah, maka sungguh dibalik Frustasi dan sesaknya dada kita, ada Prestasi sejati yang menantimu.
Harapan itu dihadirkan agar kita bisa melakukan yang terbaik dalam hidup yang sebentar ini. Tanpa harapan, maka tiada yang bisa diharapkan dari kehadiran kita di dunia ini. Jadilah manusia yang penuh dengan harapan, agar kehadiran kita di tengah semesta selalu diharapkan. Dan harapan tertingi kita adalah pertemuan dengan Allah SWT.
Kaum muslimin muslimat,  Mukminin wal Mukminat sidang Idul Fitri  rahimakumullah
Sebagai akhir dari khutbah ini, khotib akan membacakan sabda Rasulallah SAW.

Ada tiga perkara, barang siapa mau mengamalkannya, niscaya Allah akan menghisabnya dengan hisab yang ringan dan memasukannya kedalam surga dengan Rahmat-Nya.
Para sahabat bertanya: apakah perkara tiga itu, ya Rasulallah
Beliau menjawab: 1) kamu mau memberi kepada orang yang tidak pernah memberimu, 2) kamu mau menyambung tali persaudaraan dengan orang yang telah memutuskan tali persaudaraan dengan kamu, 3)  kamu mau memberi maaf kepada orang yang telah menganiayaimu.
Maka apabila kamu telah melakukan itu, niscaya kamu masuk surga.


Selasa, 16 Agustus 2011

Tiga Disiplin Puasa

Ada banyak makna penting dari ibadah Ramadhan, salah satunya adalah mendidik disiplin dalam melaksanakan hidup. Paling tidak, ada tiga bentuk disiplin yang dididikan dari puasa. Pertama, disiplin dalam menunaikan kewajiban, apalagi kewajiban ini telah dibebankan kepada generasi sebelum kita. Ini berarti tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mau melaksanakan segala bentuk kewajiban dalam hidup. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS al-Baqarah [2]:183).

Utang juga kewajiban yang harus kita tunaikan, baik kepada Allah SWT maupun kepada manusia. Karenanya, bila kewajiban puasa belum kita tunaikan dengan sebab-sebab tertentu, maka kewajiban itu tidak gugur begitu saja, tapi harus ditunaikan dengan berpuasa pada kesempatan lain atau menggantinya dengan fidiah.

"Maka, barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidiah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]:184).

Kedua, disiplin dalam waktu, yakni menggunakan waktu sebaik mungkin dalam konteks pengabdian kepada Allah SWT, karenanya berpuasa dan ibadah lainnya di dalam Islam ditentukan waktunya. Saat fajar atau Subuh tiba, maka makan dan minum serta hubungan suami istri dihentikan untuk memulai puasa. Orang yang disiplin waktu merasa lebih baik menunggu daripada terlambat, sebagaimana waktu imsak. Sedangkan bila Magrib tiba, kita harus segera makan dan minum untuk mengakhiri puasa meskipun harus menunda beberapa saat pelaksanaan shalat Magrib. Karena itu, kita amat dituntut mengefektifkan penggunaan waktu.

Ketiga, disiplin dalam hukum. Sebagai manusia kita amat membutuhkan hukum, dan Allah SWT paling tahu tentang hukum seperti apa yang cocok untuk kita. Melalui puasa, kita dilatih untuk disiplin dalam hukum sehingga sesuatu yang semula boleh menjadi tidak boleh. Bila sesuatu yang amat penting, yakni makan dan minum serta hubungan seksual sudah bisa dikendalikan, seharusnya kita bisa mengendalikan diri dan disiplin dalam hukum-hukum lainnya.

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]:188). Karena itu, berbahagialah kita mendapatkan kesempatan sekali lagi untuk membina diri melalui ibadah Ramadhan yang membuat kita menjadi semakin bertaqwa kepada Allah SWT.
Oleh: Ahmad Yani

Selasa, 09 Agustus 2011

FAKTOR PEMICU KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA


Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu konflik atau menghambat kerukunan umat beragama antara lain:
1.       Pendirian rumah ibadah. Yaitu apabila dalam mendirikan rumah ibadah tidak memperhatikan situasi dan kondisi umat beragama baik secara sosial maupun budaya masyarakat setempat.
2.      Penyiaran agama. Apabila dalam penyiarannya bersifat agitasi dan memaksakan kehendak bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan tidak mau memahami kebenaran agama lain. Apalagi kalau penyiaran agama itu ditujukan kepada orang yang sudah beragama.
3.      Bantuan luar negeri. Walaupun kelihatannya tidak langsung mempengaruhi, namun bantuan tersebut dapat juga memicu konflik baik intern maupun antar agama, karena pemberi bantuan biasanya menitipkan misi tertentu yang harus dilaksanakan.
4.       Perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama akan mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut hukum perkawinan, warisan, harta benda, dan akidah.
5.      Perayaan hari besar keagamaan. Apabila perayaan tersebut dilaksanakan tanpa mempertimbangkan situasi, kondisi, dan lokasi masyarakat sekitar, ia juga bisa mamancing ketegangan dengan penganut agama lain.  
6.      Penodaan agama. Yaitu suatu perbuatan bersifat melecehkan atau menodai doktrin suatu agama tertentu. Tindakan ini sangat sering terjadi baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok tanpa disadari apalagi dengan sengaja.  
7.      Kegiatan aliran sempalan. Adalah suatu kegiatan yang menyimpang dari doktrin agama yang sudah diyakini kebenarannya ataupun kegiatan tersebut merupakan suatu aliran baru.