Selasa, 04 Oktober 2011

Fatwa Qardhawi: Hukum Menonton Televisi

Televisi sama halnya seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu hanyalah alat atau media yang digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan sehingga kita tidak dapat mengatakannya baik atau buruk, halal atau haram. Segalanya tergantung pada tujuan dan materi acaranya.

Seperti halnya pedang, di tangan mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan bila di tangan perampok, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan tindak kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut penggunaannya, dan sarana atau media dinilai sesuai tujuan dan maksudnya.

Televisi dapat saja menjadi media pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan. Demikian pula halnya radio, surat kabar, dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, televisi dapat juga menjadi alat penghancur dan perusak. Semua itu kembali kepada materi acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.

Dapat saya katakan bahwa media-media ini mengandung kemungkinan baik, buruk, halal, dan haram. Seperti saya katakan sejak semula bahwa seorang Muslim hendaknya dapat mengendalikan diri terhadap media-media seperti ini, sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika acaranya berisi kebaikan, dan mematikannya bila berisi keburukan.

Lewat media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita dan acara-acara keagamaan, pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang dapat diterima (tidak mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari suguhan hiburan yang menyenangkan hatinya atau dapat memperoleh manfaat dari tayangan acara pendidikan yang mereka saksikan.

Namun begitu, ada acara-acara tertentu yang tidak boleh ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya merusak akhlak. Karena di dalamnya mengandung unsur-unsur budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk.

Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat rayuan dengan kata-kata yang manis. Selain itu, jenis film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah bohong, dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral yang rendah.

Secara objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak luput dari sisi negatif seperti ini, tidak sunyi dari adegan-adegan yang merangsang nafsu seks, minum khamar, dan tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah menjadi  kebudayaan dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri peradaban yang tinggi. Wanita yang tidak belajar berdansa adalah wanita yang tidak modern. Apakah haram jika seorang pemuda duduk berdua dengan seorang gadis sekedar  untuk bercakap-cakap serta saling bertukar janji?"

Inilah yang menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian terhadap akhlak anak-anaknya melarang memasukkan media-media seperti televisi dan sebagainya ke rumahnya. Sebab mereka berprinsip, keburukan yang ditimbulkannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya, dosanya lebih besar daripada manfaatnya, dan sudah tentu yang demikian adalah haram. Lebih-lebih media tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.

Tidak diragukan lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi dengan hati-hati, ketika keburukan dan kerusakan sudah demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata, dan tidak terhitung jumlah manusia yang tidak lagi dapat menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi positif dan manfaatnya juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, yaitu berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang buruk di antara film bentuk tayangan sejenisnya.

Hal ini dapat dihindari oleh seseorang dengan jalan mematikan radio atau televisinya, menutup surat kabar dan majalah yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang, dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita  dan tulisan yang buruk.

Manusia adalah mufti bagi dirinya sendiri, dan dia dapat menutup pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat mengendalikan dirinya atau keluarganya, maka langkah yang lebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).

Inilah pendapat saya mengenai hal ini, dan Allahlah Yang Maha Memberi Petunjuk dan Memberi Taufiq ke jalan yang lurus.

Kini tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab produser serta seluruh pihak  yang  berkaitan dengan media-media informasi tersebut. Karena bagaimanapun, Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka terhadap semua itu. Maka  hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak sekarang.
Sumber: http://www.republika.co.id/

Fatwa Qardhawi: Zakat Untuk Membangun Masjid

, Adapun menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid sehingga dapat digunakan untuk mengagungkan nama Allah, berdzikir kepada-Nya, menegakkan syiar-syiar-Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat, maka hal ini termasuk yang diperselisihkan para ulama dahulu maupun sekarang.

Apakah yang demikian itu dapat dianggap sebagai "fi sabilillah" sehingga termasuk salah satu dari delapan sasaran zakat sebagaimana yang dinashkan di dalam Al-quranul Karim dalam surat At-Taubah:

"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
(QS At-Taubah: 60)

Ataukah kata "sabilillah itu artinya terbatas pada "jihad" saja sebagaimana yang dipahami oleh jumhur? Saya telah menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam kitab saya Fiqh Az-Zakah, dan di sini tidaklah saya uraikan lagi masalah tersebut.

Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama, dengan memperluas pengertian "jihad" (perjuangan) yang meliputi perjuangan bersenjata (inilah yang lebih cepat ditangkap oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran), jihad tarbawi (pendidikan), jihad da'wi (dakwah), jihad dini (perjuangan agama), dan lain-lainnya.  Kesemuanya untuk memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi kepribadian Islam dari serangan musuh yang hendak mencabut Islam dari akar-akarnya, baik serangan itu berasal dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau dari Free Masonry dan zionisme, maupun dari antek dan agen-agen mereka yang berupa gerakan-gerakan sempalan Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan Bathiniyah (Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.

Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan oleh umat, seperti negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya zakat di sana digunakan untuk membangun masjid. Sebab negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan zakat untuk hal ini, selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang dananya baik dari uang zakat maupun selain zakat.

Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya cukup digunakan untuk membangun sepuluh atau lebih masjid di negara-negara Muslim yang miskin yang padat penduduknya, sehingga satu masjid saja dapat menampung puluhan ribu orang. 

Dari sini saya merasa mantap memperbolehkan menggunakan zakat untuk membangun masjid di negara-negara miskin yang sedang menghadapi serangan kristenisasi, komunisme, zionisme, Qadianiyah, Bathiniyah, dan lain-lainnya. Bahkan kadang-kadang mendistribusikan zakat untuk keperluan ini—dalam kondisi seperti ini—lebih utama daripada didistribusikan untuk yang lain.

Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam: Pertama, mereka adalah kaum yang fakir, yang harus dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai manusia sehingga dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia Muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi bagi jamaah muslimah.

Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di negara tersebut untuk mendirikan masjid dengan menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan dengannya sehingga tidak ada kaum Muslim yang hidup tanpa mempunyai masjid.

Sebagaimana setiap orang Muslim membutuhkan makan dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya, maka jamaah muslimah juga membutuhkan masjid untuk menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman mereka.

Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi SAW setelah hijrah ke  Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi yang mulia yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman itu.

Kedua, masjid di negara-negara yang sedang menghadapi bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada di bawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah semata-mata tempat ibadah, melainkan juga sekaligus sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.

Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan masjid dalam membangkitkan harakah umat Islam di Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut bahasa berarti mengguncang/menggoyang) yang pada awal kehadirannya dikenal dengan sebutan "Intifadhah Al-Masajid". Kemudian oleh media informasi diubah menjadi "Intifadhah Al-Hijarah" batu-batu karena takut dihubungkan dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.

Kesimpulan: menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam kondisi seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi menjunjung tinggi kalimat-Nya serta membela agama dan umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi sabilillah (di jalan Allah).
 Sumber: http://www.republika.co.id/

Senin, 03 Oktober 2011

Jangan Tertipu

Saat ini, kebohongan seakan telah menjadi tradisi. Korupsi jadi budaya. Tetapi, bagaimanapun kita tidak boleh teperdaya. Alquran telah mewanti-wanti kita untuk istiqamah dalam iman. Kelak akan ada sebuah dialog menarik di dalam neraka yang patut kita renungkan. Peserta dialog terdiri atas penghuni neraka, setan, para pemimpin yang sombong (ketika di dunia memimpin dengan hawa nafsunya), serta para pengikut setianya.

"Dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong, "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab, "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri."

"Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih." (QS 14: 21,22).

Ayat di atas (21), mendeskripsikan secara gamblang bahwa masyarakat atau kaum yang membantu pemimpinnya untuk sombong secara terus-menerus berbuat kerusakan dengan menuruti hawa nafsunya, maka kelak pemimpin dan yang dipimpin akan sama-sama masuk neraka.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam memilih pemimpin. Salah memilih pemimpin, kita akan rugi di dunia dan sengsara di akhirat. Begitu pula tatkala memegang amanah sebagai pemimpin, harus lebih hati-hati lagi. Sebab, seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dipimpinnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Ayat berikutnya (22) menjelaskan perihal pengakuan setan di hadapan Allah setelah selesainya urusan hisab di Padang Mahsyar. Setan mengatakan bahwa dia hanya bisa menggoda manusia. Siapa yang tergoda maka dia akan tersesat dari kebenaran, sehingga mereka memandang kejahatan sebagai perbuatan yang baik dan terpuji. Maka, tidaklah heran jika Allah memerintahkan kita untuk berpikir, mengambil pelajaran, dan terus-menerus mengingat kebesaran-Nya, agar tidak terjerumus dalam kesesatan.

Terhadap kondisi seperti itu, jangankan Tuhan, setan pun mengolok manusia untuk mencerca dirinya sendiri. Maka dari itu, waspadalah jangan sampai tertipu dan mencerca diri sendiri karena kebodohan kita mematuhi seruan setan dan mengabaikan aturan Tuhan. "Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah." (QS 35: 5).
Oleh: Dr. Abdul Mannan