Selasa, 01 Mei 2012

Inilah Fatwa tentang Larangan Mengunjungi Israel

Dunia Islam mengecam keras pendudukan yang dilakukan Israel terhadap tanah Palestina. Sebagai bentuk protes terhadap Israel yang menguasai tanah suci ketiga bagi umat Islam itu, maka munculah fatwa yang melarang kaum Muslim datang ke tanah Zionis itu.

Dr Muhammad Saadi, salah seorang mufti di Kementerian Wakaf Mesir, mengatakan, masalah ini masih jadi perdebatan di antara para ulama. Apakah diperbolehkan mengunjungi Masjid Al-Aqsha menggunakan visa Israel ataukah tidak?

"Dan dalam hal ini ada dua jawaban; apakah Anda mengunjungi Al-Quds untuk kepentingan rakyat Palestina dan perjuangan Palestina? Ataukah kunjungan tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan dan normalisasi hubungan dengan Israel," kata Saadi.

Menurut dia, dari dua hal di atas muncullah dua pendapat yang berbeda; melarang kunjungan tersebut atau membolehkannya. Argumen pelarangan adalah karena berkunjung ke Al-Quds harus menggunakan visa Israel, maka itu merupakan pengakuan terhadap otoritas Israel atas Alquds. Maka hal ini terlarang untuk dilakukan. Karena dengan demikian, kita juga dianggap telah melakukan upaya normalisasi hubungan dengan Israel.

Syekh Faisal Mawlawi, wakil presiden Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian, tidak menganjurkan melakukan kunjungan ke Yerusalem, walaupun terdapat hadis nabi yang menganjurkan hal tersebut.

Menurut dia, kunjungan ke Yerusalem menggunakan visa Israel sama saja dengan mengakui pendudukan negeri Zionis itu. "Memang, pahala ibadah di Masjidil Aqsha sangat besar. Namun, kita tak dapat berkunjung ke sana tanpa adanya visa Israel. Ini masalah serius, karena merupakan pengakuan terhadap eksistensi otoritas Zionis," tegasnya.

Dan, lanjut Syekh Faisal, pengakuan dalam bentuk permohonan visa itu juga merupakan bentuk pengakuan kita terhadap penjajahan Israel yang menguasai bumi Palestina. Sementara mengakui Israel adalah haram, sebagaimana disepakati para ulama. Tidak ada perbedaaan dalam hal ini," kata dia.

Oleh sebab itu, Syekh Faisal menganjurkan umat Islam untuk bersatu dan bangkit untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Yahudi. "Ini adalah kewajiban kita sebagai seorang Muslim," tandasnya. "Umat Islam harus menegakkan semangat jihad, karena itu merupakan kewajiban. Dengan demikian, barulah Palestina bisa dibebaskan."

Masalah lain, kata Faisal, jika kita menggunakan visa Israel untuk mengunjungi Yerusalem, maka Israel telah berhasil menyakinkan dunia bahwa penjajahannya terhadap Palestina adalah sah-sah saja. Israel mempunyai dalih bahwa ia tidak pernah mencegah umat Islam berkunjung ke Yerusalem, asal mereka menggunakan visa Israel.

Padahal, itu (visa Israel) juga merupakan bentuk dukungan dan pengakuan terhadap Zionis. "Oleh sebab itu, kami menyarankan seluruh kaum Muslimin untuk tidak berkunjung ke Yerusalem menggunakan visa Israel," tegas Faisal.

Terkait dengan banyaknya pahala yang tak dapat kita raih jika tidak melakukan ibadah di Masjid Aqsha, ia mengatakan masih banyak ibadah lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pahala sebesar apa yang dijanjikan Allah di Masjidil Aqsha.

"Sedangkan bagi mereka yang membolehkan, berdalih bahwa visa yang kita gunakan itu tidak lantas merupakan pengakuan kita terhadap otoritas pendudukan. Dan jika kaum Muslimin tidak berkunjung ke Alquds, maka lambat-laun Alquds akan terasing dan terisolasi dari umat Islam, dan dikuasai sepenuhnya oleh penjajah Israel," imbuh Saadi.

Dan lanjut dia, dengan berkunjung ke Alquds, maka paling tidak kaum Muslimin dapat menghidupkan kembali ekonomi Palestina.

Sedangkan ulama Saudi, Dr Saud Al-Funisan, mengatakan tidak keberatan dengan kaum Muslimin yang mengunjungi Alquds, walau menggunakan visa Israel. "Meminta visa Israel itu tidak otomatis merupakan pengakuan kita terhadap legitimasi pendudukan. Justru dengan adanya kaum Muslimin yang berkunjung ke Alquds, akan dapat menghidupkan perekonomian saudara-saudara kita di Palestina," kata dia.

Dosen Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud ini menegaskan, meminta visa Israel untuk mengunjungi kerabat atau teman di Palestina tidak lantas merupakan pengakuan terhadap legitimasi penjajah Israel.

Syekh Al-Funisan bahkan mengutip hadis Nabi SAW yang menegaskan pentingnya menziarahi Masjidil Aqsha. "Kalau ada yang melarang kunjungan ke Alquds, hanya karena masalah visa Israel, maka itu merupakan bentuk pengingkaran terhadap hadis Nabi yang menyatakan, "Tidak ada perjalanan (ziarah) kecuali kepada tiga masjid: Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjidil Aqsha," kata dia.

Mungkin, kata Al-Funisan, keberatan ulama yang melarang kunjungan ke Israel itu didasari atas sikap negara-negara Islam dan Arab, yang tidak mau memboikot Israel. "Namun, saya tidak yakin kalau kaum Muslimin di Palestina tidak mau dikunjungi oleh saudaranya sesama Muslim, terutama ke Masjidil Aqsha, yang kini berada dalam pendudukan Yahudi."

Justru, Al-Funisan sangat menganjurkan kaum Muslimin untuk menziarahi Alquds (Yerusalem), dan bertemu dengan kaum Muslimin di Palestina.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/12/05/01/m3bfg0-inilah-fatwa-tentang-larangan-mengunjungi-israel/

Selasa, 10 April 2012

Berihsan dalam Kekuasaan


Suatu ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang iman, Islam, dan ihsan. Setelah Nabi menjelaskan tentang iman dan Islam, Jibril pun bertanya, ”Apakah ihsan itu?”

Lalu Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Makna inilah yang kemudian menjadi definisi “ihsan”  dan sangat populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi. Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai sebagai perbuatan ibadah.

Ibadah menjadi demikian luas makna dan bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas.

Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik ritual maupun sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan.

Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusyukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama.

Demikian pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah.

Sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antarsesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.

Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu, kebajikan yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.

Tidak ada ruang sedikit pun dalam beramal untuk memanjakan apa pun selain Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa dengan Tuhannya.

Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekadar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan masyarakatnya.

Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di hadapan Tuhan. Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.
(Prof.  Asep S Muhtadi)

Rabu, 01 Februari 2012

Doa yang Tak Didengar

Ada satu doa Nabi Muhammad SAW yang amat indah. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak lagi didengar.” (Jami’us Shaghir, hadis sahih).

Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk, sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT, maka amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah.

Jika kondisi ini sudah menguasainya maka ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, maka jika dibiarkan ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuaskan keinginan hawa nafsunya.

Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini maka ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi maka mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT?

Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi  oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40).

Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, maka lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.

Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak didengar dan dikabulkan Allah SWT. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat per¬umpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35). Wallahu a’lam. (Habib Nabiel al-Musawa)

Ciri Mukmin Sejati

Orang beriman dalam Alquran disebut mukmin, jamaknya mukminin. Mukmin ialah orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT. Mematuhi segala perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Itulah mukmin sejati. Mukmin sejati kelak akan mendapatkan surga dan keridaan Allah SWT.

Tentu kita ingin menjadi mukmin sejati yang nantinya mendapat rida Allah SWT dan kekal dalam kebahagiaan. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya." (QS al-Mu'minun [23]: 1-5).

Ayat tersebut menghendaki kita untuk khusyuk dalam shalat, menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menunaikan zakat dan tidak mendekati zina. Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya kita bisa khusyuk dalam shalat? Mengapa harus menjauhi hal-hal yang tak berguna, wajib zakat, dan dilarang zina?

Untuk shalat khusyuk ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, memahami bacaan-bacaan shalat. Kedua, berusaha untuk bisa konsentrasi dan tulus ikhlas dalam mengerjakannya (QS al-A'raf [7]: 29). Ketiga, mengerjakannya dengan thuma'ninah, tenang, dan tidak terburu-buru. Bahkan, kalau ingin sempurna lagi lakukanlah shalat secara berjamaah di masjid.

Berikutnya kita mesti menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (Muttafaqun Alaih).

Selanjutnya menunaikan zakat. Zakat hakikatnya menyucikan diri dan menjaga diri dari sifat kikir (bakhil) (QS at-Taubah [9]: 103). Dengan demikian, solidaritas sesama Muslim dapat dipelihara dan terus-menerus ditingkatkan. Mengapa kita perlu menjaga diri dari sifat kikir yang dalam Alquran disebut bakhil?

Allah membenci orang kikir (bakhil). “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.

Sebenarnya, kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan, kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan, Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran [3]: 180).

Selanjutnya, tidak mendekati zina. Allah SWT sangat membenci perbuatan zina. Oleh karena itu, pelakunya diberi hukuman dan tercatat sebagai pelaku dosa besar. (QS al-Isra’ [17]: 32).

Dari sini jelas bahwa kalau kita ingin bahagia selamanya baik di dunia maupun di akhirat kita mesti menjadi mukmin sejati. Sebagaimana yang terkandung dalam surah al-Mu’minun.

Tetapi hari ini, bagi sebagian umat Islam, iman tidak lagi penting. Tidak shalat sudah biasa, demikian juga dusta dan kesiasiaan. Kikir menjadi budaya dan zina jadi gaya hidup.

Wahai saudaraku, selagi masih hidup bersegeralah memperbaiki diri, bersungguh-sungguhlah untuk menjadi mukmin sejati. Jika tidak, ja-ngan menyesal apabila kelak akan termasuk golongan orang yang merugi. Wallahu a'lam. (Dr. Abdul Mannan)