Suatu ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang iman, Islam, dan ihsan. Setelah Nabi menjelaskan tentang iman dan Islam, Jibril pun bertanya, ”Apakah ihsan itu?”
Lalu Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Makna inilah yang kemudian menjadi definisi “ihsan” dan sangat populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi. Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai sebagai perbuatan ibadah.
Ibadah menjadi demikian luas makna dan bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas.
Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik ritual maupun sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan.
Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusyukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama.
Demikian pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah.
Sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antarsesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.
Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu, kebajikan yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.
Tidak ada ruang sedikit pun dalam beramal untuk memanjakan apa pun selain Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa dengan Tuhannya.
Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekadar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan masyarakatnya.
Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di hadapan Tuhan. Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.
Lalu Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Makna inilah yang kemudian menjadi definisi “ihsan” dan sangat populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi. Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai sebagai perbuatan ibadah.
Ibadah menjadi demikian luas makna dan bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas.
Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik ritual maupun sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan.
Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusyukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama.
Demikian pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah.
Sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antarsesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.
Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu, kebajikan yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.
Tidak ada ruang sedikit pun dalam beramal untuk memanjakan apa pun selain Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa dengan Tuhannya.
Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekadar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan masyarakatnya.
Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di hadapan Tuhan. Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.
(Prof. Asep S Muhtadi)