FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 56 Tahun 2016
Tentang
HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
*MENIMBANG : *
a. bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari
besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan
persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim
yang berdampak pada siar keagamaan mereka;
b. bahwa untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian
pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran
dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan mengharuskan
karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan
dari non-muslim;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang
hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman.
*MENGINGAT : *
1. Al-Quran :
a. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan meniru perkataan orang-orang kafir, antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): ‘Raa´ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’.
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:
104)
b. Firman Allah SWT yang melarang mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, antara lain:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS.
al-Baqarah : 42)
c. Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain:
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ(1)لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ(2)وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(3)وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا
عَبَدْتُمْ(4)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(5)لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ(6)
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)
d. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan syi’ar selain Islam, antara lain:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS.
Al-An’am: 153)
e. Firman Allah SWT yang tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي
الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah : 8)
f. Firman Allah SWT yang mengkhabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa
saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
antara lain:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ
أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS.
Al-Mujadilah: 22)
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا
الشَّوَارِبَ
Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah
kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا
شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ
تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
َقالَ فمَنْ
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian
benar-benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian,
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya
mereka memasuki lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga”
Kami berkata: Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata:
“Maka siapa lagi?.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ
وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ
عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan pedang
menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku
di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi
siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum
maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ
تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى
فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ
النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ
Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya
Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai
selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani,
karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari
jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak
tangannya”. (HR. al-Tirmidzi)
3. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang
lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan
mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang
hak dan bathil.
4. Qaidah Fidhiyyah:
دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”
*MEMPERHATIKAN : *
1. Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam kitab “Mughni al-Muhtaj ila
Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:
ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ
ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ
ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ….
“Dihukum ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir
dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan
masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi
‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi)
di hari raya (orang kafir)…”.
2. Pendapat Imam Jalaluddin al-Syuyuthi dalam Kitab “Haqiqat
al-Sunnah wa al-Bid’ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al-Ibtida’,
halaman 42:
ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم
الملعونة كما يفعله كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم
فيما يفعلونه …والتشبه بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصد
Termasuk bid’ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai (tasyabbuh)
dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya dan
perayaan-perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana
dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan
orang-orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka
lakukan… Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak
bermaksud menyerupai”.
3. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, jilid IV halaman 239 :
ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم
والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال
صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل
لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا
يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع
المسلمين من ذلك
Di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin
mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka
dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah
dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi
perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Saw telah
bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari
mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim
menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari
rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh
dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan,
karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan
wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan
tersebut”.
4. Pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I halaman 373 saat menjelaskan makna surah al-Baqarah [2] ayat 104:
أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا . فقال: (يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا
وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ(
Sesungguhnya Allah melarang orang-orang mukmin untuk menyerupai
orang-orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan, Maka Allah
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa´ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”.
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
5. Pendapat Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid XXII halaman 95:
أن المشابهة في الأمور الظاهرة تورث تناسبا وتشابها في الأخلاق والأعمال ولهذا نهينا عن مشابهة الكفار
Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berdampak pada kesamaan dan
keserupaan dalam akhlak dan perbuatan. Oleh karena itu, kita dilarang
tasyabbuh dengan orang kafir.”
6. Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid 1 hal. 441-442:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم
بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن
سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل
ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس
وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا
يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله
وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang
khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan.
Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti
mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau
dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka
ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka
ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti
ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka
lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi
Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding
seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras,
membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak
orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia
tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena
itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat
maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan
murka Allah Ta’ala.”
7. Pendapat al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu
Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab Aun al-Ma’bud,
Juz XI/hal 74 dalam menjelaskan hadits tentang tasyabbuh:
وقال القارئ: أي من شبه نفسه بالكفار مثلا من اللباس وغيره أو بالفساق
أو الفجار أو بأهل التصوف والصلحاء الأبرار فهو منهم أي في الإثم والخير
Al-Qori berkata: “Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir
seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang
fasik, pelaku dosa serta orang ahli tashawwuf dan orang saleh dan baik
(maka dia termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau
kebaikan.”
9. Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981.
10. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Presentasi dan makalah Prof. DR. H. Muhammad Amin Summa, MA, SH., SE tentang Seputar Sya’airillah.
11. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 14 Desember 2016.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :
Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai
identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat
beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun
tradisi dari agama tertentu.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
Ketiga : Rekomendasi
1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama
dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan
antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan
setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan
non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui
kebenaran teologis.
3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta
tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut
keagamaan non-muslim.
4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan
agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan
tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan
non-muslim kepada karyawan muslim.
5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai
warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya
secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak
yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau
melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan
muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama
seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim
kepada umat Islam.
Ketiga : Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika
di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat
mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
14 Rabi’ul Awwal 1438 H
14 Desember 2016 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
Sumber: http://mui.or.id/index.php/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-muslim/
Selasa, 27 Desember 2016
Selasa, 01 Mei 2012
Inilah Fatwa tentang Larangan Mengunjungi Israel
Dunia Islam mengecam keras pendudukan yang dilakukan Israel
terhadap tanah Palestina. Sebagai bentuk protes terhadap Israel yang menguasai
tanah suci ketiga bagi umat Islam itu, maka munculah fatwa yang melarang kaum
Muslim datang ke tanah Zionis itu.
Dr Muhammad Saadi, salah seorang mufti di Kementerian Wakaf Mesir, mengatakan, masalah ini masih jadi perdebatan di antara para ulama. Apakah diperbolehkan mengunjungi Masjid Al-Aqsha menggunakan visa Israel ataukah tidak?
"Dan dalam hal ini ada dua jawaban; apakah Anda mengunjungi Al-Quds untuk kepentingan rakyat Palestina dan perjuangan Palestina? Ataukah kunjungan tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan dan normalisasi hubungan dengan Israel," kata Saadi.
Menurut dia, dari dua hal di atas muncullah dua pendapat yang berbeda; melarang kunjungan tersebut atau membolehkannya. Argumen pelarangan adalah karena berkunjung ke Al-Quds harus menggunakan visa Israel, maka itu merupakan pengakuan terhadap otoritas Israel atas Alquds. Maka hal ini terlarang untuk dilakukan. Karena dengan demikian, kita juga dianggap telah melakukan upaya normalisasi hubungan dengan Israel.
Syekh Faisal Mawlawi, wakil presiden Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian, tidak menganjurkan melakukan kunjungan ke Yerusalem, walaupun terdapat hadis nabi yang menganjurkan hal tersebut.
Menurut dia, kunjungan ke Yerusalem menggunakan visa Israel sama saja dengan mengakui pendudukan negeri Zionis itu. "Memang, pahala ibadah di Masjidil Aqsha sangat besar. Namun, kita tak dapat berkunjung ke sana tanpa adanya visa Israel. Ini masalah serius, karena merupakan pengakuan terhadap eksistensi otoritas Zionis," tegasnya.
Dan, lanjut Syekh Faisal, pengakuan dalam bentuk permohonan visa itu juga merupakan bentuk pengakuan kita terhadap penjajahan Israel yang menguasai bumi Palestina. Sementara mengakui Israel adalah haram, sebagaimana disepakati para ulama. Tidak ada perbedaaan dalam hal ini," kata dia.
Oleh sebab itu, Syekh Faisal menganjurkan umat Islam untuk bersatu dan bangkit untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Yahudi. "Ini adalah kewajiban kita sebagai seorang Muslim," tandasnya. "Umat Islam harus menegakkan semangat jihad, karena itu merupakan kewajiban. Dengan demikian, barulah Palestina bisa dibebaskan."
Masalah lain, kata Faisal, jika kita menggunakan visa Israel untuk mengunjungi Yerusalem, maka Israel telah berhasil menyakinkan dunia bahwa penjajahannya terhadap Palestina adalah sah-sah saja. Israel mempunyai dalih bahwa ia tidak pernah mencegah umat Islam berkunjung ke Yerusalem, asal mereka menggunakan visa Israel.
Padahal, itu (visa Israel) juga merupakan bentuk dukungan dan pengakuan terhadap Zionis. "Oleh sebab itu, kami menyarankan seluruh kaum Muslimin untuk tidak berkunjung ke Yerusalem menggunakan visa Israel," tegas Faisal.
Terkait dengan banyaknya pahala yang tak dapat kita raih jika tidak melakukan ibadah di Masjid Aqsha, ia mengatakan masih banyak ibadah lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pahala sebesar apa yang dijanjikan Allah di Masjidil Aqsha.
"Sedangkan bagi mereka yang membolehkan, berdalih bahwa visa yang kita gunakan itu tidak lantas merupakan pengakuan kita terhadap otoritas pendudukan. Dan jika kaum Muslimin tidak berkunjung ke Alquds, maka lambat-laun Alquds akan terasing dan terisolasi dari umat Islam, dan dikuasai sepenuhnya oleh penjajah Israel," imbuh Saadi.
Dan lanjut dia, dengan berkunjung ke Alquds, maka paling tidak kaum Muslimin dapat menghidupkan kembali ekonomi Palestina.
Sedangkan ulama Saudi, Dr Saud Al-Funisan, mengatakan tidak keberatan dengan kaum Muslimin yang mengunjungi Alquds, walau menggunakan visa Israel. "Meminta visa Israel itu tidak otomatis merupakan pengakuan kita terhadap legitimasi pendudukan. Justru dengan adanya kaum Muslimin yang berkunjung ke Alquds, akan dapat menghidupkan perekonomian saudara-saudara kita di Palestina," kata dia.
Dosen Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud ini menegaskan, meminta visa Israel untuk mengunjungi kerabat atau teman di Palestina tidak lantas merupakan pengakuan terhadap legitimasi penjajah Israel.
Syekh Al-Funisan bahkan mengutip hadis Nabi SAW yang menegaskan pentingnya menziarahi Masjidil Aqsha. "Kalau ada yang melarang kunjungan ke Alquds, hanya karena masalah visa Israel, maka itu merupakan bentuk pengingkaran terhadap hadis Nabi yang menyatakan, "Tidak ada perjalanan (ziarah) kecuali kepada tiga masjid: Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjidil Aqsha," kata dia.
Mungkin, kata Al-Funisan, keberatan ulama yang melarang kunjungan ke Israel itu didasari atas sikap negara-negara Islam dan Arab, yang tidak mau memboikot Israel. "Namun, saya tidak yakin kalau kaum Muslimin di Palestina tidak mau dikunjungi oleh saudaranya sesama Muslim, terutama ke Masjidil Aqsha, yang kini berada dalam pendudukan Yahudi."
Justru, Al-Funisan sangat menganjurkan kaum Muslimin untuk menziarahi Alquds (Yerusalem), dan bertemu dengan kaum Muslimin di Palestina.
Dr Muhammad Saadi, salah seorang mufti di Kementerian Wakaf Mesir, mengatakan, masalah ini masih jadi perdebatan di antara para ulama. Apakah diperbolehkan mengunjungi Masjid Al-Aqsha menggunakan visa Israel ataukah tidak?
"Dan dalam hal ini ada dua jawaban; apakah Anda mengunjungi Al-Quds untuk kepentingan rakyat Palestina dan perjuangan Palestina? Ataukah kunjungan tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan dan normalisasi hubungan dengan Israel," kata Saadi.
Menurut dia, dari dua hal di atas muncullah dua pendapat yang berbeda; melarang kunjungan tersebut atau membolehkannya. Argumen pelarangan adalah karena berkunjung ke Al-Quds harus menggunakan visa Israel, maka itu merupakan pengakuan terhadap otoritas Israel atas Alquds. Maka hal ini terlarang untuk dilakukan. Karena dengan demikian, kita juga dianggap telah melakukan upaya normalisasi hubungan dengan Israel.
Syekh Faisal Mawlawi, wakil presiden Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian, tidak menganjurkan melakukan kunjungan ke Yerusalem, walaupun terdapat hadis nabi yang menganjurkan hal tersebut.
Menurut dia, kunjungan ke Yerusalem menggunakan visa Israel sama saja dengan mengakui pendudukan negeri Zionis itu. "Memang, pahala ibadah di Masjidil Aqsha sangat besar. Namun, kita tak dapat berkunjung ke sana tanpa adanya visa Israel. Ini masalah serius, karena merupakan pengakuan terhadap eksistensi otoritas Zionis," tegasnya.
Dan, lanjut Syekh Faisal, pengakuan dalam bentuk permohonan visa itu juga merupakan bentuk pengakuan kita terhadap penjajahan Israel yang menguasai bumi Palestina. Sementara mengakui Israel adalah haram, sebagaimana disepakati para ulama. Tidak ada perbedaaan dalam hal ini," kata dia.
Oleh sebab itu, Syekh Faisal menganjurkan umat Islam untuk bersatu dan bangkit untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Yahudi. "Ini adalah kewajiban kita sebagai seorang Muslim," tandasnya. "Umat Islam harus menegakkan semangat jihad, karena itu merupakan kewajiban. Dengan demikian, barulah Palestina bisa dibebaskan."
Masalah lain, kata Faisal, jika kita menggunakan visa Israel untuk mengunjungi Yerusalem, maka Israel telah berhasil menyakinkan dunia bahwa penjajahannya terhadap Palestina adalah sah-sah saja. Israel mempunyai dalih bahwa ia tidak pernah mencegah umat Islam berkunjung ke Yerusalem, asal mereka menggunakan visa Israel.
Padahal, itu (visa Israel) juga merupakan bentuk dukungan dan pengakuan terhadap Zionis. "Oleh sebab itu, kami menyarankan seluruh kaum Muslimin untuk tidak berkunjung ke Yerusalem menggunakan visa Israel," tegas Faisal.
Terkait dengan banyaknya pahala yang tak dapat kita raih jika tidak melakukan ibadah di Masjid Aqsha, ia mengatakan masih banyak ibadah lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pahala sebesar apa yang dijanjikan Allah di Masjidil Aqsha.
"Sedangkan bagi mereka yang membolehkan, berdalih bahwa visa yang kita gunakan itu tidak lantas merupakan pengakuan kita terhadap otoritas pendudukan. Dan jika kaum Muslimin tidak berkunjung ke Alquds, maka lambat-laun Alquds akan terasing dan terisolasi dari umat Islam, dan dikuasai sepenuhnya oleh penjajah Israel," imbuh Saadi.
Dan lanjut dia, dengan berkunjung ke Alquds, maka paling tidak kaum Muslimin dapat menghidupkan kembali ekonomi Palestina.
Sedangkan ulama Saudi, Dr Saud Al-Funisan, mengatakan tidak keberatan dengan kaum Muslimin yang mengunjungi Alquds, walau menggunakan visa Israel. "Meminta visa Israel itu tidak otomatis merupakan pengakuan kita terhadap legitimasi pendudukan. Justru dengan adanya kaum Muslimin yang berkunjung ke Alquds, akan dapat menghidupkan perekonomian saudara-saudara kita di Palestina," kata dia.
Dosen Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud ini menegaskan, meminta visa Israel untuk mengunjungi kerabat atau teman di Palestina tidak lantas merupakan pengakuan terhadap legitimasi penjajah Israel.
Syekh Al-Funisan bahkan mengutip hadis Nabi SAW yang menegaskan pentingnya menziarahi Masjidil Aqsha. "Kalau ada yang melarang kunjungan ke Alquds, hanya karena masalah visa Israel, maka itu merupakan bentuk pengingkaran terhadap hadis Nabi yang menyatakan, "Tidak ada perjalanan (ziarah) kecuali kepada tiga masjid: Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjidil Aqsha," kata dia.
Mungkin, kata Al-Funisan, keberatan ulama yang melarang kunjungan ke Israel itu didasari atas sikap negara-negara Islam dan Arab, yang tidak mau memboikot Israel. "Namun, saya tidak yakin kalau kaum Muslimin di Palestina tidak mau dikunjungi oleh saudaranya sesama Muslim, terutama ke Masjidil Aqsha, yang kini berada dalam pendudukan Yahudi."
Justru, Al-Funisan sangat menganjurkan kaum Muslimin untuk menziarahi Alquds (Yerusalem), dan bertemu dengan kaum Muslimin di Palestina.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/12/05/01/m3bfg0-inilah-fatwa-tentang-larangan-mengunjungi-israel/
Selasa, 10 April 2012
Berihsan dalam Kekuasaan
Suatu ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang iman, Islam, dan ihsan. Setelah Nabi menjelaskan tentang iman dan Islam, Jibril pun bertanya, ”Apakah ihsan itu?”
Lalu Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Makna inilah yang kemudian menjadi definisi “ihsan” dan sangat populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi. Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai sebagai perbuatan ibadah.
Ibadah menjadi demikian luas makna dan bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas.
Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik ritual maupun sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan.
Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusyukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama.
Demikian pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah.
Sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antarsesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.
Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu, kebajikan yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.
Tidak ada ruang sedikit pun dalam beramal untuk memanjakan apa pun selain Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa dengan Tuhannya.
Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekadar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan masyarakatnya.
Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di hadapan Tuhan. Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.
Lalu Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Makna inilah yang kemudian menjadi definisi “ihsan” dan sangat populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi. Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai sebagai perbuatan ibadah.
Ibadah menjadi demikian luas makna dan bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas.
Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik ritual maupun sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan.
Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusyukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama.
Demikian pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah.
Sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antarsesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.
Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu, kebajikan yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.
Tidak ada ruang sedikit pun dalam beramal untuk memanjakan apa pun selain Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa dengan Tuhannya.
Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekadar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan masyarakatnya.
Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di hadapan Tuhan. Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.
(Prof. Asep S Muhtadi)
Rabu, 01 Februari 2012
Doa yang Tak Didengar
Ada satu doa Nabi Muhammad SAW yang amat indah. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak lagi didengar.” (Jami’us Shaghir, hadis sahih).
Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk, sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT, maka amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah.
Jika kondisi ini sudah menguasainya maka ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, maka jika dibiarkan ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuaskan keinginan hawa nafsunya.
Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini maka ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi maka mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT?
Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40).
Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, maka lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.
Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak didengar dan dikabulkan Allah SWT. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat per¬umpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35). Wallahu a’lam. (Habib Nabiel al-Musawa)
Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk, sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT, maka amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah.
Jika kondisi ini sudah menguasainya maka ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, maka jika dibiarkan ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuaskan keinginan hawa nafsunya.
Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini maka ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi maka mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT?
Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40).
Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, maka lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.
Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak didengar dan dikabulkan Allah SWT. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat per¬umpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35). Wallahu a’lam. (Habib Nabiel al-Musawa)
Ciri Mukmin Sejati
Orang beriman dalam Alquran disebut mukmin, jamaknya mukminin. Mukmin ialah orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT. Mematuhi segala perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Itulah mukmin sejati. Mukmin sejati kelak akan mendapatkan surga dan keridaan Allah SWT.
Tentu kita ingin menjadi mukmin sejati yang nantinya mendapat rida Allah SWT dan kekal dalam kebahagiaan. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya." (QS al-Mu'minun [23]: 1-5).
Ayat tersebut menghendaki kita untuk khusyuk dalam shalat, menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menunaikan zakat dan tidak mendekati zina. Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya kita bisa khusyuk dalam shalat? Mengapa harus menjauhi hal-hal yang tak berguna, wajib zakat, dan dilarang zina?
Untuk shalat khusyuk ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, memahami bacaan-bacaan shalat. Kedua, berusaha untuk bisa konsentrasi dan tulus ikhlas dalam mengerjakannya (QS al-A'raf [7]: 29). Ketiga, mengerjakannya dengan thuma'ninah, tenang, dan tidak terburu-buru. Bahkan, kalau ingin sempurna lagi lakukanlah shalat secara berjamaah di masjid.
Berikutnya kita mesti menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (Muttafaqun Alaih).
Selanjutnya menunaikan zakat. Zakat hakikatnya menyucikan diri dan menjaga diri dari sifat kikir (bakhil) (QS at-Taubah [9]: 103). Dengan demikian, solidaritas sesama Muslim dapat dipelihara dan terus-menerus ditingkatkan. Mengapa kita perlu menjaga diri dari sifat kikir yang dalam Alquran disebut bakhil?
Allah membenci orang kikir (bakhil). “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya, kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan, kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan, Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran [3]: 180).
Selanjutnya, tidak mendekati zina. Allah SWT sangat membenci perbuatan zina. Oleh karena itu, pelakunya diberi hukuman dan tercatat sebagai pelaku dosa besar. (QS al-Isra’ [17]: 32).
Dari sini jelas bahwa kalau kita ingin bahagia selamanya baik di dunia maupun di akhirat kita mesti menjadi mukmin sejati. Sebagaimana yang terkandung dalam surah al-Mu’minun.
Tetapi hari ini, bagi sebagian umat Islam, iman tidak lagi penting. Tidak shalat sudah biasa, demikian juga dusta dan kesiasiaan. Kikir menjadi budaya dan zina jadi gaya hidup.
Wahai saudaraku, selagi masih hidup bersegeralah memperbaiki diri, bersungguh-sungguhlah untuk menjadi mukmin sejati. Jika tidak, ja-ngan menyesal apabila kelak akan termasuk golongan orang yang merugi. Wallahu a'lam. (Dr. Abdul Mannan)
Langganan:
Postingan (Atom)